Realitas kita: kekerasan masih terjadi di sekolah
Pada tahun 2019 Kantor Bantuan Hukum Sarnelli (Yayasan Sarnelli) telah menerima tujuh pengaduan kekerasan di sekolah. Lima pengaduan kekerasan yang dialami oleh siswa sekolah dan dua pengaduan kekerasan yang dialami oleh guru atau tenaga pendidik. Bentuk kekerasan yang dialami oleh siswa beragam yaitu kekerasan fisik, verbal, seksual dan ekonomi. Tentu saja data yang kami terima ini kelihatan kecil. Bila dibandingkan data lain, maka kekerasan yang diadukan ke Kantor Bantuan Hukum Sarnelli hanyalah bagian dari puncak gunung es di wilayah Pulau Sumba. Berikut ini data kekerasan di lingkup sekolah Kabupaten Sumba Barat.
DATA PENGADUAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
KABUPATEN SUMBA BARAT TAHUN 2019 BERDASARKAN TEMPAT KEJADIAN
NO | TEMPAT | JUMLAH |
1 | SEKOLAH DASAR | 5 |
2 | SEKOLAH MENENGAH PERTAMA | 11 |
3 | SEKOLAH MENENGAH ATAS | 20 |
4 | RUMAH, LAINNYA | 38 |
TOTAL | 74 |
Catatan:
Bentuk kekerasan: fisik, verbal, seksual dan ekonomi
Ada 36 pengaduan kekerasan di wilayah Kabupaten Sumba Barat selama tahun 2019. Ini terjadi di semua jenjang pendidikan dari Sekolah Dasar sampai SMA. Tidak semua pengaduan kekerasan di sekolah diselesaikan melalui penyelesaian hukum.
Korban dan pelaku termasuk di dalamnya baik anak maupun guru sekolah. Jumlah pelaku kebanyakan adalah guru atau staf sekolah.
Membaca data kekerasan di sekolah tersebut, mengingatkan kita bahwa kekerasan masih terjadi di lingkup sekolah. Sekolah adalah tempat anak belajar untuk tumbuh dan berkembang sebagai manusia muda. Guru dan semua unsur di sekolah berusaha membantu dan memberikan sarana yang tepat untuk menunjang proses belajar dan bertumbuh anak-anak. Namun, apakah bentuk kekerasan masih diperlukan? Sering menjadi pertanyaan mengingat perlunya mengajarkan kedisiplinan kepada anak. Bagaimana mengajarkan hidup disiplin tanpa kekerasan?
Secara khusus, akan dibahas secara garis besar ketentuan berkaitan dengan sekolah yang memberikan perlindungan kepada guru dan siswa. Titik pokok yang sering menjadi permasalahan adalah cara mendisiplinkan siswa. Hal ini akan dibahas dalam tulisan singkat ini.
Ketentuan hukum berkaitan dengan sekolah: perlindungan kepada anak dan guru
Ada berbagai ketentuan yang telah diberlakukan di negara kita berkaitan dengan sekolah. Ketentuan perundangan yang ada di antaranya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 14 Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen, UU No 23 Tahun 2020 tentang Perlindungan Anak ( sebagaimana telah diubah dengan UU No 35 Tahun 2014), dan UU No: 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tentu saja bagi perlindungan anak berlaku pula konvenan internasional hak anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan telah ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan perundangan sebagai bentuk pelaksanaan perlindungan anak.
Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur dan memberikan perlindungan kepada anak dan kepada guru serta sekolah. Artinya tidak seperti yang selama ini dikhawatirkan oleh banyak guru dan orang bahwa mendidik anak dibatasi oleh hak asasi manusia. Justru yang terjadi bahwa keberadaan berbagai ketentuan tersebut menjamin terlaksananya pendidikan yang lebih manusiawi dan mengedepankan pertumbuhan anak secara utuh. Dengan kata lain bahwa ketentuan hukum bukan untuk membatasi tetapi memberikan pegangan bagi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah.
Prinsip Perlindungan Anak
Selama menjalani masa pendidikan di sekolah, seorang anak mendapatkan kesempatan untuk belajar dan bertumbuh secara penuh. Prinsip perlindungan anak ini ditegaskan dalam ketentuan perundangan mengenai perlindungan anak maupun konvenan hak anak. Patut disebutkan di sini prinsip dasar dalam perlindungan anak untuk menjadi pegangan.
UUD 1945
Pasal 28B Ayat (2)
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Konvenan Hak Anak
Pasal 28 (2)
disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia si anak.
Pasal 37 (a)
tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
UU Sisdiknas
Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No 35 tahun 2014
Pasal 1 ayat 15a
kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.”
Pasal 9 ayat 1a
setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.”
Pasal 54 ayat 1
anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dan tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Secara singkat dapat dirumuskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Keseimbangan dalam perlindungan anak, yang merupakan hak anak, diberikan dengan menegaskan tentang kewajiban anak. Pasal 19 UU perlindungan anak menyebutkan bahwa Setiap anak berkewajiban untuk : (a) menghormati orang tua, wali, dan guru; (b) mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, (c) mencintai tanah air, bangsa, dan negara, (d) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan (e) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Sanksi dan ancaman pidana bagi pelanggar
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan sanksi pidana yang berupa hukuman dan denda. Hal ini terdapat pada ketentuan UU Perlindungan Anak. Sebagai contoh ancaman pidana terdapat pada
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Pasal 76C:
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Pasal 80:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Perlindungan Guru dan Pendisiplinan Siswa
Sesuai dengan UU Guru dan Dosen, guru mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan hak yang dimiliki guru yang mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Perlindungan hukum terhadap guru secara umum Bab XIII tentang Pendidikan Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, ditentukan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, dan Pasal 31 ayat (2) juga disebutkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Perlindungan hukum terhadap guru secara khusus UUGD tertuang dalam Pasal 39:
- Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, organisasi profesi dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas;
- Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
- Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain;
Batasan tindakan yang dapat dilakukan oleh guru dalam upaya mendisiplinkan siswa
Batasan tindakan disiplin yang dapat diberikan oleh guru diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yaitu:
- Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.
- Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang undangan.
- Pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan guru, dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan. 4) Pelanggaran terhadap peraturan perundang undangan yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa catatan yang harus diperhatikan mengenai cara mendisiplinkan siswa:
- Tidak menyakiti secara fisik maupun psikis, dalam hal ini niat dari guru melakukan pendisiplinan harus disertai dengan tujuan mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang undangan serta bukan semata-mata menyiksa.
- Tidak bertujuan untuk mempermalukan anak korban dihadapan siswa lain.
- Tidak merendahkan martabat kemanusiaan, jika seorang murid/siswa dirasa melanggar ketentuan tata tertib sekolah maupun membangkang atas tugas yang diberikan oleh guru, maka guru tidak seharusnya melakukan tindakan secara membabibuta mencari kesalahan siswa.
Sekolah: tempat belajar hidup sebagai manusia muda
Pada akhirnya kita harus melihat bahwa berbagai ketentuan mengenai perlindungan anak dan hak anak serta tentang sistem pendidikan yang berlaku adalah sarana untuk membantu para guru dan sekolah dalam menciptakan tempat pendidikan yang ideal bagi anak-anak. Hukum bukan menjadi hambatan dalam berkreativitas menciptakan peluang dalam mendidikan dan mengajar tetapi sebagai pegangan dan rambu-rambu. Melalui hukum, diharapkan makin terwujud kondisi ideal sekolah yang menjadi tempat generasi muda belajar tentang hidup itu sendiri yang bebas dari kekerasan dalam bentuk apapun. Melalui cara ini, kita dapat menghentikan kekerasan di sekolah, keluarga dan kehidupan kita bersama. Ketentuan hukum menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang luhur tujuan pendidikan nasional kita, secara khusus juga dalam menciptakan generasi yang memiliki iman yang sejati dalam hidup mereka.